Hari itu, dalam sebuah perjumpaan yang tak terduga di tengah gemerlap lomba futsal di sekolah, Abby dan Nadia, dua jiwa yang sebelumnya tak pernah bersinggungan, tiba-tiba saling berpapasan. Kehadiran kami saat “classmeet” yang kini hilang dalam ingatanku, memperlihatkan takdir yang entah bagaimana mengatur pertemuan ini.
Suasana di lapangan begitu meriah, dengan sorak sorai penonton yang hingar bingar mengiringi pertandingan. Sialnya, papan skor yang seharusnya menjadi panduan kami, terletak di posisi yang kurang begitu jelas terlihat dari tempat dudukku. Kebetulan, Abby memilih tempat duduk di sudut yang memberi pandangan lebih baik pada papan skor tersebut.
Saat itulah, tanpa aba-aba sebelumnya, Nadia dan temannya, muncul di sebelah Abby. Seolah tanpa sadar, Abby merasakan hatinya berdebar-debar saat mereka mengambil tempat di sampingnya. Abby tak bisa memprediksi apa yang akan terjadi selanjutnya, namun dengan beraninya, Nadia tiba-tiba menoleh pada Abby dan bertanya, “Skornya berapa sekarang?”
Jawaban pun terlepas dari bibir Abby, meskipun dengan rasa gugup yang luar biasa. Abby memberitahukan skor saat itu, meskipun pikirannya sedang berkecamuk mencari cara untuk menjalankan percakapan ini. Ketegangan dalam dirinya terasa seolah mencapai puncaknya, seperti sebuah konser perasaan ketakutan di dalam hatinya.
Saat itu, Abby merasa ingin sekali menjalin kontak mata dengan Nadia, ingin mengetahui apakah tatapannya akan membuka jendela menuju dunia baru. Namun, sayangnya, perasaan takut dan kebingungan yang melanda Abby sudah terlalu mendalam, dan pertemuan mereka segera berakhir tanpa ada kata-kata lebih lanjut yang terucap.
Pertemuan singkat itu mungkin hanya sekedar titik awal dari kisah yang lebih panjang. Siapa yang tahu? Mungkin suatu hari nanti, mereka akan memiliki kesempatan untuk mengulang momen ini dengan lebih percaya diri dan cerita mereka akan terus berlanjut dalam buku yang tak terbatas waktu.
Di dalam lorong sekolah yang ramai, Abby melangkah dengan hati-hati, mencari tanda-tanda Nadia. Mereka sudah mulai akrab, setiap kali Nadia lewat, Nadia selalu menyapa Abby dengan senyuman hangat. Bagi Abby, momen-momen seperti itu adalah kilas mata berharga yang selalu diinginkannya. Tetapi ada satu hal yang selalu mengguncangnya setiap kali itu terjadi yaitu perasaannya yang rumit terhadap Nadia.
Di suatu hari, ketika Abby bersama teman-temannya dalam perjalanan ke kelas, takdir mempertemukan mereka kembali. Nadia lewat di depan mereka, senyumnya menyinari ruangan itu, dan dia mengatakan, “Hai, Abby!” kepadanya. Abby merasakan wajahnya memanas, dan dia melihat teman-teman di sekitarnya meledeknya. Mereka tahu bahwa Abby menyukai Nadia.
Bahan candaan teman-temannya mengenai Nadia dan Abby sering kali membuat Abby merasa tak nyaman. Tapi yang paling membuatnya bingung adalah bagaimana harus merespon saat Nadia menyapanya. Abby terlalu takut untuk mengangkat tangan dan melambaikannya sebagai balasan, takut suaranya akan terdengar gugup dan canggung. Tetapi dia juga takut bahwa jika dia tidak merespon dengan baik, Nadia mungkin berpikir bahwa Abby tidak peduli.
Setiap kali mereka berpapasan, hati Abby berdebar-debar, dan dia hanya berharap bahwa Nadia akan melambaikan tangannya lagi. Tetapi dalam hati Abby, dia tahu bahwa suatu saat dia harus mengatasi ketidaknyamanannya dan berani merespon sapaan Nadia dengan tulus.
Saat itulah Abby menyadari bahwa perasaannya untuk Nadia tidak bisa dihindari. Dia merasa gugup, tetapi juga merasa senang setiap kali mereka bertemu. Abby tahu bahwa dia harus melewati ketidaknyamanannya dan mengungkapkan perasaannya pada Nadia, karena mungkin, hanya mungkin, Nadia juga merasakan hal yang sama.
Abby mengambil nafas dalam-dalam, bersiap untuk momen berikutnya ketika dia akan berpapasan dengan Nadia. Ia ingin menyambut dengan tulus, tanpa ketakutan. Karena mungkin di balik senyuman Nadia, ada perasaan yang sama mendalamnya.
Namun, Abby terus merasa gugup dan tidak mampu untuk merespon sapaan Nadia. Kepala dan hatinya berbicara dengan bahasa yang berbeda, dan dia hanya bisa melihat Nadia pergi dengan perasaan campur aduk. Mungkin Abby masih butuh waktu untuk mengatasi ketidaknyamanannya.
Kadang-kadang, kita harus memahami bahwa setiap orang memiliki waktu dan cara yang berbeda untuk mengungkapkan perasaannya. Perasaan Abby kepada Nadia tetap ada, meskipun dia belum siap untuk mengungkapkannya. Dan dalam prosesnya, Abby tahu bahwa ada hal-hal dalam hidup yang memerlukan waktu dan kesabaran.
Mungkin suatu hari nanti, ketika Abby telah mengatasi ketakutannya, dia akan dapat mengungkapkan perasaannya kepada Nadia. Dan pada saat itu, Nadia akan tahu betapa dalamnya perasaan Abby padanya.
Pertemuan mereka di dunia maya tidak terjadi begitu saja. Abby telah menghabiskan beberapa waktu untuk menggali lebih dalam ke dalam profil Nadia, melihat postingannya, dan mencoba memahami siapa dia. Itu adalah salah satu dari banyak malam Abby yang kesepian, dihabiskan di bawah selimut dengan ponselnya.
Ketika Abby mendapat notifikasi yang menyatakan bahwa akun Nadia telah mengikuti akunnya di Instagram, hatinya berdebar kencang. Dalam sekejap, dia menerima permintaan pertemanan tersebut dan dengan cepat memfollow balik akun Nadia. Awalnya, obrolan mereka hanya diisi oleh keheningan. Abby duduk di depan layar ponselnya, berpikir keras tentang pesan pertama yang harus dia kirim.
Lalu, notifikasi baru muncul. Nadia mengirim pesan singkat yang berbunyi, “Hai Abby.” Abby merasa gelisah. Dia meminta saran dari teman-temannya tentang cara merespons pesan ini. Setelah mendengarkan saran dari temannya, dia akhirnya membalas, “Hi Nadia.” Abby mencoba terlihat santai meskipun sebenarnya dia merasa gelisah.
Nadia ternyata memiliki selera humor yang lucu dan sering kali membuat lelucon yang hanya dipahami oleh beberapa orang. Abby berpikir, “Bagaimana bisa ada seorang perempuan yang memiliki jenis humor yang sama seperti saya? Apakah ini pertanda bahwa kita punya banyak kesamaan?” Abby belum pernah bertemu dengan seorang perempuan yang mengerti lelucon seperti ini sebelumnya.
Setelah beberapa waktu berbicara, Abby mengetahui bahwa Nadia suka menonton anime. Nadia menyebut anime yang ada di foto profil Abby yang bernama Ryo. Keduanya mulai berbicara lebih banyak tentang anime dan membagikan rekomendasi. Mereka semakin dekat melalui obrolan ini, saling memberikan nama panggilan lucu berdasarkan makanan favorit mereka. Abby dipanggil “Brokoli” dan Nadia “Wortel”.
Namun, suatu saat, Abby merasa bahwa obrolan mereka mulai sepi dan kehilangan topik. Mereka berdua tidak saling mengirim pesan selama beberapa hari, dan Abby merasa rindu akan obrolan mereka yang dulu begitu seru. Dia bertanya-tanya apakah ada suatu alasan di balik mengapa Nadia tidak menghubunginya.
Tapi, Abby tahu bahwa cinta tidak selalu harus dimulai dengan kata-kata yang terucap. Terkadang, cinta berkembang dengan perlahan, seperti bunga yang tumbuh di taman yang indah. Dan bagi Abby dan Nadia, petualangan mereka bersama hanya akan menjadi lebih menarik dan berharga seiring berjalannya waktu.
Pada malam tanggal 2 Agustus 2023, Abby sedang merapikan meja belajarnya ketika tiba-tiba ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari seorang gadis bernama Fira, teman dekat Nadia. Jantung Abby berdetak kencang. Kenapa Fira menghubunginya? Apa yang terjadi? Dengan perasaan campur aduk, Abby memutuskan untuk tidak membuka pesan tersebut hingga keesokan paginya.
Pagi harinya, tepat pukul 6, Abby memberanikan diri untuk membuka pesan itu. Ternyata, Fira memberitahu bahwa Nadia, gadis yang diam-diam disukai Abby, akan berulang tahun pada tanggal 3 Agustus—hari ini. Fira meminta Abby untuk memberikan ucapan selamat ulang tahun secara langsung kepada Nadia. Abby merasa panik. Ia belum pernah berbicara langsung dengan Nadia. Namun, dengan suara hati yang bergetar, Abby mengirim balasan, berjanji akan mengusahakannya.
Hari itu berjalan dengan lambat. Sejak pagi, Abby merasa cemas. Meski kelas mereka berdekatan, Abby merasa kakinya terlalu lemas untuk mendekati Nadia. Sepanjang hari, pikiran Abby dipenuhi bayangan bagaimana ia akan mengucapkan selamat ulang tahun kepada gadis yang disukainya. Saat bel pulang sekolah berbunyi, Abby tahu waktunya telah tiba. Namun, ketakutannya membuatnya berjalan-jalan mengelilingi sekolah, mengulur waktu sambil berharap menemukan Nadia.
Akhirnya, Abby melihat Nadia sedang membereskan kelasnya. Dengan jantung berdegup kencang, Abby mendekati kelas Nadia. Fira, yang melihat Abby dari kejauhan, seolah mengerti niat Abby dan memanggil Nadia. Abby merasa malu dan cemas ketika mendekati kelas yang ramai dengan teman-teman Nadia. Dengan suara gemetar, Abby mengucapkan selamat ulang tahun, tetapi suaranya terlalu pelan sehingga Nadia sulit mendengarnya. Abby merasa sangat malu dan segera mencari alasan untuk pergi.
Setelah mengucapkan selamat ulang tahun, Abby berlari pulang dengan perasaan cemas yang masih menghantui. Di rumah, Abby berbohong bahwa ia sakit perut, padahal sebenarnya itu hanya karena kecemasannya. Meskipun begitu, Abby merasa pengalamannya tidak sepenuhnya buruk.
Hari itu berakhir dengan Abby merenungkan pengalamannya. Apakah tahun depan Abby akan mengucapkan ulang tahun kepada Nadia lagi? Atau mungkin mereka akan merayakannya bersama? Atau mungkin, mereka tidak akan bersama lagi? Hanya waktu yang bisa menjawab. Seperti yang dikatakan Seneca: “Every new beginning comes from some other beginning’s end.” Abby menyadari bahwa meskipun ucapan selamat ulang tahun itu mungkin tidak sempurna, itu adalah bagian dari proses yang lebih besar, membawa mereka pada kemungkinan baru.
Matahari pagi menerobos jendela kamar Abby, menyinari sudut-sudut ruangan dengan lembut. Udara segar pagi itu terasa kontras dengan tubuhnya yang masih lemah karena demam. Abby meringkuk di balik selimut tebal, tubuhnya terasa lemah karena demam yang tak kunjung reda. Namun, pikirannya jauh lebih bergejolak daripada tubuhnya yang lemas. Di tangannya, sebuah ponsel menyala, menampilkan obrolan dengan Nadia, gadis yang akhir-akhir ini memenuhi pikirannya.
Nadia, atau biasa Abby sebut “Nawul”, sedang dalam perjalanan ke dokter mata. Matanya merah dan sakit, namun semangat dalam obrolannya tak pernah pudar. Candaan ringan Nadia selalu menjadi penyemangat Abby, bahkan saat ia merasa paling tidak berdaya.
Beberapa menit sebelumnya, Nadia sempat mengirimkan sebuah link video TikTok. Abby hanya melihatnya sekilas, link TikTok itu tiba-tiba dihapus oleh Nadia. Rasa penasaran langsung memenuhi kepala Abby. “Kenapa dihapus? Kirim lagi dong,” pintanya berulang-ulang melalui chat.
“Enggak ah, malu,” balas Nadia singkat, tapi Abby terus mendesak dengan nada bercanda yang ia tahu Nadia tak akan tahan lama. Akhirnya, setelah beberapa kali rengekan Abby, Nadia menyerah dan mengirimkan ulang video itu.
Abby membuka videonya sambil menahan napas. Video itu sederhana, namun ada sesuatu yang membuat Abby merasa aneh.
Jantung Abby berdebar lebih kencang. Pesan itu samar, tapi cukup untuk membuat pikirannya melayang. Apa maksud Nadia? Apa itu cuma kebetulan, atau memang ditujukan untuknya? Pikiran-pikiran itu berputar, namun satu hal yang ia tahu pasti yaitu ia tak ingin menunda lagi. Ia ingin menjawab semua tanda yang selama ini Nadia tunjukkan, langsung dari hatinya.
“Gimana kalau kita pacaran aja?” Abby mengetik, namun jempolnya ragu untuk menekan tombol kirim. Detik itu, dadanya berdebar begitu kencang. Sudah lama ia menanti momen ini, namun keberanian seakan lenyap tiap kali pikirannya dibayangi rasa takut. “Gimana kalau dia cuma anggap aku bercanda?” pikir Abby, jantungnya seakan memompa lebih kencang lagi.
Namun, ia tahu satu hal, Nadia juga telah menunjukkan perhatian yang tulus. Dari cara Nadia selalu membuka obrolan, mengingat hal-hal kecil tentang Abby, hingga kekhawatirannya saat tahu Abby sedang sakit. Perasaan itu seperti bisikan lembut di hatinya bahwa Nadia juga mungkin menyimpan perasaan yang sama.
Dengan tarikan napas dalam, Abby akhirnya menekan tombol kirim.
Hening.
Abby menatap layar ponselnya, detik terasa seperti menit. Kemudian, balasan itu muncul.
“Aku sih letsgo.”
Abby tertegun. Bahagia menyeruak di dadanya, namun ia juga tak ingin percaya begitu saja. “Beneran?” balasnya, memastikan kata-kata itu bukan sekadar candaan khas Nadia.
Percakapan itu berlanjut dengan nada yang semakin serius, meski dibumbui lelucon khas mereka. “Sebenernya aku mau bilang pas Discord kemarin, tapi aku malu dan takut kamu capek” tulis Abby, akhirnya mengungkapkan rasa yang selama ini ia simpan.
“Padahal gapapa,” balas Nadia dengan nada hangat. “Jadi beneran nih kita pacaran?”
Abby tersenyum. Wajahnya memerah meski tak ada yang melihat. “Deal?” tanyanya.
“Deal!” jawab Nadia cepat, membuat Abby tersenyum lebih lebar lagi. Meskipun hanya melalui layar, ia tahu momen ini adalah awal dari sesuatu yang istimewa.
Sinar matahari pagi terasa semakin hangat, mengiringi hati Abby yang kini lebih ringan dan bahagia. Meski percakapan itu hanya melalui layar, Abby merasa seperti sedang melangkah ke awal cerita baru. Sebuah cerita yang ia yakin akan penuh dengan tawa, kebahagiaan, dan cinta yang sederhana namun tulus.